Jam Gadang, selain sebagai penunjuk waktu dan penanda pusat kota Bukittinggi, juga telah menjadi destinasi wisata kota Bukittinggi dengan diperluasnya taman di sekitar menara jam ini. Taman tersebut menjadi ruang interaksi sosial masyarakat baik di hari kerja maupun di hari libur. Acara-acara yang sifatnya umum banyak diselenggarakan di sekitar taman dekat menara jam ini.
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter dengan ketinggian menara mencapai 26 meter. Bagian dalam menara terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan bandul. Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau "controleur" Fort de Kock (sekarang kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Arsitektur menara jam ini adalah Yazid Rajo Mangkuto, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran masa itu. Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol kota Bukittinggi. Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya.
Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.